ANTARA
MACAN TUTUL DAN BINTANG KEJORA
Sebuah Catatan dari Papua
Oleh:
Aboeprijadi Santoso, 26 januari 2001
Awal
Desember 2000 Irian Jaya ditandai momentum ganda. Ada semangat dan harapan yang
meningkat di tengah masyarakat yang menantikan perayaan memperingati HUT ke 39
pernyataan kemerdekaan Papua Barat. Akankah "kemerdekaan" kali ini
terwujud? Pada saat bersamaan, ada perasaan masyarakat yang cemas seraya
waspada. Akankah perwujudan aspirasi rakyat itu kali ini akan "dijebak"
dan "dibalas" dengan jawab yang keras dari pusat? Ketika itulah Radio
Nederland tiba di Jayapura dan mengirim liputan liputan langsung dari
negeri Cenderawasih ini.
Jayapura
Jayapura, atau ‘Port Numbay' dalam sebutan khalayak di sini, adalah
semacam Cape Town atau Lisbon – dua kota yang konon disebut paling indah di
belahan bumi Afrika dan Eropa. Begitu juga Jayapura di Asia – kotanya
memanjang di tepi pantai yang berrupa teluk, menyambung dari Sentani dan Abepura,
diselingi lembah di tepian bukit yang menghadang samudera Pasifik. Udaranya
segar, tidak dicemari asap industri. Pusat kota Jayapura itu
sendiri kecil karena kebanyakan perumahan penduduk terletak di dataran
lereng-lereng bukit yang memanjang. Di pusat kota itulah dapat kita
saksikan dua simptom masa kini. Di bagian depan Taman Imbi terdapat patung alm.
Komodor Jos Sudarso di depan kapal selam RI Macan Tutul. Patung kapal selam itu
patah, tampak tak terawat. Kedua patung itu menjadi simbol heroisme awal 1960an
ketika Angkatan Laut RI menggertak Belanda supaya mengembalikan Irian Jaya ke
pangkuan Republik. Di bagian selatan taman yang sama, sebuah gedung sederhana
menjadi saksi dari versi sejarah yang berbeda, yang sekarang menjadi versi
popular dalam wacana publik.
Macan Tutul dan Bintang Kejora
Gedung Dewan Kesenian Irian Jaya (DKIJ) adalah bekas gedung Nieuw Guinea
Raad (Dewan Papua Barat) tempat gagasan dan proklamasi kemerdekaan Papua
Barat dicetuskan oleh beberapa tokoh Papua pada 1 Desember 1961. Di situlah
bendera Bintang Kejora (Bintang Fajar) pertama kali dikibarkan pada 1 Desember
1961 dan kini melambai-lambai lagi di udara untuk terakhir kali (untuk sementara?)
pada 1 Desember 2000 yang lalu. Patung Jos Sudarso, Macan Tutul, di satu pihak
dan gedung DKIJ, Bintang Kejora di lain pihak, menjadi simptom-simptom atau
"wakil wakil" dari dua mitos politik yang bersitegang – yang satu
mewakili mitos pusat dan satu lagi adalah sosok mitos popular lokal. Bagi
pusat (Jakarta), Irian Jaya adalah bagian absah dari Republik, tanpa tanda tanya
apa pun. Sebaliknya, bagi penduduk lokal, Papua adalah sebuah kenyataan yang
perlu ditimba, dihormati dan dipulihkan.
Cerita Seorang Klerk
Di samping kiri Taman Imbi, di ujung Jalan Martin Indey, seorang tua tiba
tiba menyapa. "Saya ada di sini waktu itu! Saya tahu. Saya ini saksi satu
Desember tahun 61," katanya. Sang bapak tua ini adalah mantan klerk (pegawai
kecil) d
|
Upacara
pada 1 Mei 1963.(Foto: IPPHOS)
|
|
i kantor gubernuran semasa
gubernur Belanda. Dia memandang ke Taman Imbi, sambil merenung dan melanjutkan
cerita dengan penuh emosi. Saya dan seorang rekan wartawan dari Belanda
berhenti, mendengarkan tutur kisahnya. Rupanya pak tua ini tak pernah mengira
pada suatu hari masa rakyat akan berkumpul lagi di Taman Imbi ini untuk menuntut
kembali suatu kedaulatan yang pernah dicetuskan pada peristiwa yang
disaksikannya itu. Tigapuluh sembilan tahun silam, tak banyak orang
beraspirasi merdeka, katanya. Lalu, diam diam, si bapak tua itu meneteskan air
mata. Kegembiraannya terungkap dalam tetes yang diusapnya sambil menyilakan kami
melanjutkan perjalanan kami. "Slamat, slamat ..," teriaknya,
melambaikan tangan.
Berani Bicara
Hari itu Rabu 29 Nopember, khalayak sudah sibuk menyambut hari lusa dengan
menyiapkan tenda dan berjualan bendera kecil Bintang Kejora dan macam macam
lambang Papua Merdeka di ujung kali lima itu. Si bapak Papua yang saksi sejarah
tadi merasakan sebuah jurang -- jurang yang membelah zaman semasa jadi ambtenaar
Belanda dan zaman reformasi di bawah Presiden Abdurrahman "Gus Dur"
Wahid ini. Dia hanyalah salah satu dari sekitar sejuta orang Papua yang dilanda
sejarah, tapi tangis dan keharuannya mewakili jurang itu, yaitu zaman yang
membuat Irian Jaya mengalami perubahan besar.
"Saya datang ke Irian Jaya pertama kali pada 1994. Waktu itu, orang tak
banyak bicara. Mereka takut sekali kalau ditanya tentang OPM (Organisasi Papua
Merdeka). Tapi, sekarang … wuaah, mereka berani dan bicara semua ... Yaah,
jelas, rakyat Irian Jaya itu pingin merdeka…," ujar Akiko Tsuru, seorang
mahasiswi Jepang yang sedang belajar di Universitas Cenderawasih, Jayapura.
Merdeka Alami
"Begini
|
Gedung
Kesenian sebagai pusat gerakan. (Foto: Aboeprijadi Santoso)
|
|
ceritanya," sambung
Frits Agappa, seorang putra Papua asli yang menemani Akiko dan saya temui di
kantor LSM YPMD (Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa) di Abepura. "Orang-orang
Papua ini berkulit hitam, hidungnya besar-besar, inilah yang membuat kebersamaan
orang Papua. Lantas, di bawah Indonesia ini kami ditipu, kekayaan bumi kami
diambil dan banyak dari kami dibunuh. Jadi ada ikatan etnik, lalu ada kecurangan
dan ketidakadilan." Frits adalah seorang terdidik yang jujur dan moderat,
tak suka hal-hal ekstrim. "Saya tak ingin mengatakan bahwa kami dijajah (oleh
Indonesia) tapi Indonesia telah memperkosa ha-hak kami. Sebenarnya kami ini
sudah merdeka, merdeka secara alami. Lalu datang Indonesia pada 1961. Sekarang
orang Papua ingin kemerdekaan yang alami ini menjadi kemerdekaan yang
transformatif, artinya, yang menjaga alam, memelihara kebudayaan kami sekaligus
mengolah, beradaptasi, menyesuaikan pada zaman moderen." Setelah jeda
sesaat, "Nah," lanjut Frits Agappa, polos, "suasana Reformasi
1998 itu membawa perubahan. Habibie undang kami. Lalu ada macam macam cara untuk
meredam aspirasi kami. Tapi kemudian datang Presiden Gus Dur. Menurut
rakyat Papua dan menurut Presidium Dewan Papua, Gus Dur adalah orang
yang terbuka dan demokrat." "Waktu Gus Dur ke sini (31 Desember 1999)
lalu mengizinkan bendera Bintang Kejora dikibarkan … waah, … orang Papua
terharu, mereka menangis gembira. Jadi orang Papua hormat sama dia, dan dia
mendorong semangat kami".(26/01/2001)
|