..:: S M A D A ::..

       

 

     |Home|Foto|Web Site|Kontak SMADA|Buku Tamu|





 



Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok. 

Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua. 

Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka. 

Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak. 

Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta. 

Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda. 

Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya. 

Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya. 

Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984). 

Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985). 

Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984. 

Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap. 

Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149). 

Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian. 

Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam. 

14 Desember 1988 
Seperti yang telah disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya. 

Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya. 

Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda. 

Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri. 

Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem. 

Berbeda dengan para pendahulunya yang selalu menggunakan istilah yang mulai dipopulerkan oleh Belanda, yakni Papua Barat, Tom menamakan negeri merdeka yang dibayangkannya, "Melanesia Barat". Di mana batas "Melanesia Barat" itu, belum begitu jelas bagi penulis. Apakah Melanesia Barat juga meliputi Maluku, Timor Timur, dan Nusa Tenggara Timur, yang penduduknya serumpun Melanesia? Ataukah penggunaan istilah itu hanyalah suatu taktik politik, suatu appeal ke arah isyu Solidaritas Melanesia yang populer di beberapa negara Pasifik Selatan (lihat Ondi, 1993: 31)? Yang jelas, proklamasi Tom Wanggai punya appeal yang besar terhadap sebagian penduduk kota Jayapura dan kota-kota satelit-satelitnya. 

Proklamasi Tom Wanggai juga punya appeal secara khusus bagi kalangan terdidik dan pegawai negeri yang berasal dari Kabupaten Yapen-Waropen, terbukti dari nama-nama marga mereka yang ditahan, diadili, dan dipenjarakan karena ikut aksi Tom Wanggai. Nama-nama Yapen-Waropen, atau istilah populernya, "Serui", juga menonjol di antara mereka yang ditahan, diadili, dan dipenjarakan karena mempersiapkan HUT I proklamasi "Melanesia Barat". 

Kenyataan ini menunjukkan lunturnya "reputasi" Serui sebagai salah satu basis gerakan Merah Putih di Irian sebagai hasil didikan Sam Ratulangie (lihat Aditjondro, 1985: 90-92). Proses pelunturan itu sudah dimulai tanggal 3 Desember 1974 dengan pencetusan "proklamasi Sorong-Samarai", yang dilanjutkan oleh Gustav Tanawani dengan mencoba menaikkan bendera OPM di tahun 1984. Orang Serui ini dihukum tujuh tahun penjara, dan dipindah ke penjara Kalisosok di Surabaya pada tahun 1986. Akhirnya ia meninggal, konon karena TBC, di penjara Madiun pada tanggal 8 Januari 1989 (Asia Watch, 1990: 23). 


***
BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya. Memang, ada benang merah yang menyelusuri kelima peristiwa penting itu: tampuk pimpinan OPM, tampaknya masih tetap berada di tangan tokoh-tokoh yang berasal dari dua (gugusan) pulau, atau kabupaten, di Teluk Cenderawasih, yakni Biak dan Serui. 

Sehingga dapat dikatakan, bahwa semangat kebangsaan Papua yang ingin memisahkan diri dari Indonesia ini, belum tentu didukung oleh suku-suku di luar Teluk Cen-derawasih. Namun kemungkinan itu masih harus diperhadapkan dengan kenyataan bahwa dalam berbagai peristiwa itu cukup banyak kerjasama antara pemimpin-pemimpin OPM yang berasal dari Teluk Cenderawasih, dengan kawan-kawan seperjuangan mereka yang berasal dari daerah-daerah lain. 

Selain itu, kita juga perlu melihat pergeseran latar-belakang pendidikan dari para aktor yang ingin menegakkan identitas Irian itu dari masa ke masa, dan dari tempat ke tempat. Di tahun 1965, perjuangan menegakkan identitas Irian dimulai dengan pemberontakan bersenjata, yang terutama berintikan para eks anggota Batalyon Papua didikan Belanda. Tahun 1971, tongkat estafet perjuangan masih diteruskan dengan modus operandi yang sama, tapi pelopornya adalah seorang eks anggota Divisi Diponegoro didikan Indonesia. 

Selanjutnya, dalam peristiwa-peristiwa penting di tahun 1977, 1984, dan 1988, para aktor gerakan menegakkan identitas Irian itu mulai bergerak masuk ke kota, bahkan ke kampus, sementara perjuangan bersenjata di hutan masih tetap jalan terus. 

Pembunuhan Arnold Ap yang secara tidak langsung merupakan pembunuhan perjuangan tanpa-kekerasan guna menegakkan identitas Irian melalui kegiatan seni-budaya serta siaran radio, seolah-olah memberikan isyarat bahwa dalam konteks negara Republik Indonesia tak banyak kans untuk mempertahankan -- apalagi mengembangkan -- identitas orang Irian. Maka, perjuangan politik untuk memisahkan diri dari Republik Indonesia dan mendirikan suatu negara merdeka bagi orang-orang serumpun, seolah-olah dipacu kembali. 

Perjuangan politik itu pada fase yang paling akhir, semakin merata di berbagai lapisan masyarakat, dan, seiring dengan perkembangan zaman, barangkali, dipimpin oleh cendekiawan Irian yang punya pengalaman di kampus dan di pemerintahan. Perjuangan politik itu pun sudah secara kreatif berusaha menciptakan atribut-atribut kebangsaan mereka yang baru, dan tidak sekedar terus memanfaatkan atribut-atribut warisan Belanda. 

Referensi bagi nasionalisme Irian yang terpisah dari Indonesia ini tidak lagi merujuk ke masa lalu, melainkan merujuk ke para negara tetangga di masa kini. 

Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu, apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang ke Irian, sementara sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun, dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana, dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian? Itulah beberapa pertanyaan kritis yang perlu kita geluti bersama dalam forum seminar ini, dengan selalu mengingat bahwa istilah "nasionalisme" dan "regionalisme" adalah istilah-istilah yang relatif, tergantung dari pandangan siapa dan dari sudut apa. Juga kita perlu mengingat, bahwa ada nasionalisme yang dapat hidup berdampingan, yakni nasionalisme yang humanis, yang tidak menjadi sandera sejarah. Tapi ada juga nasionalisme yang selalu berusaha meniadakan nasionalisme yang lain, terutama nasionalisme mereka yang lebih sedikit dan lebih lemah. Nasionalisme yang begini, lebih pantas disebut rasialisme, atau paling tidak, ekspansionisme. 

Salatiga, 4 Juni 1993. 

Catatan kaki: 

(1) Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan oleh LPM-UKSW belum lama ini, seorang pimpinan Gereja Kristen Injili di Irian Jaya mengemukakan pendapatnya, bahwa suatu negara Indonesia yang federalistis lebih dapat memenuhi aspirasi orang Irian. [kembali] 


(2) Nama "Manokwari" sendiri berasal dari bahasa Biak, dan berarti "kampung" (mnu) "tua" (kwar). [kembali] 


(3) Karena saya tidak memiliki teks asli dalam bahasa Indonesia, saya terpaksa menerjemahkannya (kembali) ke dalam bahasa Indonesia dari terjemahan bahasa Inggris (Osborne, 1989: 56) dan bahasa Belanda (Voorlichingsdienst, 1977: 19). [kembali] 


(4) Bertolak-belakang dengan pandangan Ben Anderson (1991: 178), saya tidak melihat pentingnya fungsi museum ini sebagai pembentuk nasionalisme Irian (Papua). Peranan yang dimainkan oleh Arnold di luar, atau setidak-tidaknya di "pinggiran" museum itu, sebagai pemimpin Kelompok Mambesak, lebih berperan menumbuhkan nasionalisme Irian para pengikutnya. Secara hipotetis, fungsi itu juga akan dapat dimainkan oleh Arnold, seandainya kelompoknya bermarkas di studio RRI Nusantara V. [kembali] 


(5) Tanggal 1 Januari 1984 merupakan awal berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru, yang dianggap lebih menghormati hak-hak asasi manusia. [kembali] 




Bibliografi: 
Aditjondro, G.J., 1984. "Karya dan Gema "Mambesak" di Irian Jaya", Berita Oikoumene , Agustus, hal. 27-30. 

----------------------, 1985. "Sam Ratulangie: Burung Manguni yang Rindukan Deburan Ombak Pasifik", Prisma , 14 (3), hal. 81-102. 

----------------------, 1987. "Marthin Indey, Pilar Perjuangan Pembebasan Irian Barat di Jayapura", Prisma , 16 (2), Februari, hal. 108-128. 

----------------------, 1993. Millenarianism in Melanesia. Makalah latar-belakang untuk matakuliah Etnologi Irian Jaya dalam PIBBI (Program Intensif Bahasa dan Budaya Indonesia) yang ke-22 di UKSW, Salatiga, Indonesia, 21 Desember 1992 s/d 16 Januari 1993. 

Ajamiseba, Danielo C. dan A.J. Subari, 1983. Pengabdian pada Masyarakat di Universitas Cenderawasih: Keadaannya sekarang dan Rencana Pengembangannya. Makalah pada Seminar Pengabdian pada Masyarakat Universitas Cenderawasih, 10-11 November. 

Amnesty International (AI), 1991. Indonesia: Continuing Human Rights Violations in Irian Jaya. London: Amnesty International. 

Anderson, Benedict R. O'G., 1991. Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. 

Anon., 1977. "Irian Jaya: Ribut-Ribut di Perbatasan", Tempo , 11 Juni, hal. 5-6. 

Anon., 1984. "Behind the killing of Arnold Ap,"Pacific Islands Monthly , July, hal. 19-20. 

Anon., 1985. "A political trial to cover up a murder,"Tapol , No. 68, March, hal. 20-21 

Ap, Arnold C., 1983a. "Inventarisasi Gerak Dasar Tari Daerah Irian Jaya", dalam Don A.L. Flassy (ed). Aspek & Prospek Senibudaya Irian Jaya. Jayapura: Pemerintah Daerah Tingkat I Irian Jaya, hal. 117-123. 

------, 1983b. "Seni Ukur Teluk Geelvink (Teluk Saerera)", dalam Flassy (ed), hal. 169-182. 

------- dan Sam Kapissa, 1981. Seni Patung Daerah Irian Jaya. Jayapura: Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih. 

IrJa-DISC, 1983. Surat Direktur IJ-DISC, G.J. Aditjondro, tertanggal 23 April 1983 kepada Menteri KLH Emil Salim, mencalonkan Kelompok Seni-budaya Irian Jaya "Mambesak" untuk penghargaan Kalpataru dalam kategori Penyelamat Lingkungan. 

Davis, Horace B., 1978. Toward a Marxist Theory of Nationalism. New York: Monthly Review Press. 

Hambur, Johannes, 1989. "Agustina Heumassy: Saya Menyusul Terus", Kabar dari Kampung , 7 (34), Februari, hal. 3-7. 

Hubatka, Frank, 1984. "Arnold Ap deed de cultuur van de Papoea's herleven", Vandaar , 10 (8), Augustus, hal. 22-23. 

Indera, 1984. "Peristiwa Penahanan di Irja", Berita Oikoumene , No. 92, Januari, hal. 20-22. 

Kaisiepo, Manuel, 1993. Ke-Irian-an dan Ke-Indonesia-an: Mengkaji nasionalisme dalam konteks lokal. Makalah untuk Seminar tentang Nasionalisme Indonesia Menjelang dan Pada Abad XXI yang diselenggarakan oleh Yayasan Bina Darma, 2-4 Juni, di Salatiga. 

Kobe Oser, 1984. "Nederland moet Papoea's politiek asiel verlenen", De Volkskrant , 31 Maret. 

Korwa, Abner, 1989. Tradisi Kemaritiman Suku Bangsa Biak. Skripsi Sarjana Antropologi Universitas Cenderawasih, Jayapura. 

Lubis, T. Mulya, 1984. Irian Jaya: A Dubious Future. Makalah untuk sidang Komisi Dialog LBH-NOVIB, yang tidak dipublikasikan. 

Mambesak, 1984. "In Memoriam Arnold C. Ap", Berita Oikoumene , Juni, hal. 12-13. 

Monbiot, George, 1989. Poisoned Arrows: An Investigative Journey Through Indonesia. London: Michael Joseph. 

Nusa Bhakti, Ikrar, 1984. "Menguak Gerakan Separatis di Irian Jaya",Merdeka , 11-12 Februari. 

O'Sullivan See, Katherine, 1986. First World Nationalisms: Class and Ethnic Politics in Northern Ireland and Quebec. Chicago: The University of Chicago Press. 

Ondi, Hendrikus A., 1993. "Problema Irianisasi: Suatu Tantangan Untuk Merumuskan Identitas", Kritis , 7 (3), Januari-Maret, hal. 27-35. 

Osborne, Robin, 1985. "The Killing of Irian Jaya Nationalist Arnold Ap: New evidence comes to light", Inside Asia , No. 3/4, June-August, hal. 17-19. 

-------------, 1987. Indonesia's Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya. Sydney: Allen & Unwin. 

RIOP, 1985. The Tragedy of the Papuans and the International Political Order. Amsterdam: Research Institute of Oppressed Peoples (RIOP). 

Ruhukail, Constant P., 1985. "Kasus Pembunuhan Arnold C. Ap dan Eddy Mofu", Berita Tanpa Sensor , April, Leiden: Gerakan Demi Hak-Hak Azasi Manusia dan Demokrasi, hal. 1-5. 

Sjamsuddin, Nazaruddin, 1989. Integrasi Politik di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. 

Tapol, 1983. West Papua: The Obliteration of a People. London: TAPOL. 

Ukur, Fridolin dan Frank L. Cooley, 1977. Benih Yang Tumbuh VIII: Suatu Survey Mengenai Gereja Kristen Irian Jaya. Jakarta: LPS-DGI. 

Voorlichtingsdienst, 1977. Zwartboek Nieuw-Guinea: Een van de laatste strohalmen van het Kolonialisme in deze wereld. Den Haag: de Voorlopige Regering van de Republik West Papua/Nieuw Guinea. 

Whitaker, Alan, 1990. West Papua: Plunder in Paradise. London: Anti-Slavery Society. 

<<< Kehalaman 1

 Download Bacaan

Index


Powered By www.SagoE.net  Bali 2002